Posts Tagged ‘ Tiga Karakteristik Sahabat ’

SAHABAT SEJATI

Peran Seorang Sahabat

Sahabat yang Shalih akan membantu temannya untuk tetap menjaga iman dan ketaatannya kepada Allah swt. Ia juga akan melarangnya melakukan dosa-dosa besar, membantu mempertebal keimanannya, bahkan dengan persahabatannya itu, ia akan memasuki surga sampai pada tingkat surga Firdaus yang paling tinggi.

Hal ini tidak hanya terbatas pada para remaja, tapi juga dapat diperoleh semua umat Islam, baik lelaki maupun perempuan, remaja putra maupun putri, orang yang kuat keimanannya maupun orang yang hanya mengaku sebagai orang beriman. Mereka semua membutuhkan teman yang Shalih, yang dapat mengingatkannya saat lupa, membantu dalam menjalankan ketaatan (kepada Allah swt.) Karena itulah, mencari sahabat yang Shalih merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus diperhatikan dengan saksama.

Tiga Karakteristik Sahabat

Hendaknya kita bersahabat dengan orang yang kuat agamanya, sementara orang yang gemar melakukan kemaksiatan, kita mesti menjauhinya, dan bagi orang yang lupa (dan terjerembap dalam kubangan dosa), kita tidak boleh memutus persahabatan dengannya, tapi kita mesti mendekatinya dan memberi peringatan kepadanya atas kelalaiannya.

Inilah tiga karakteristik sahabat dan kita harus memilihnya. Tidak ada seorangpun yang melakukan perbuatan dosa secara langsung dengan tanpa adanya seseorang yang mengajaknya untuk melakukan maksiat.

Sahabatamu; Surgamu Ataukah Nerakamu

Hendaknya kita melihat teman yang selalu bersama kita, karena ia akan selalu mengikuti perjalanan kita. Dan ketahuilah bahwa seseorang itu akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya. Untuk itu, dapat pula dikatakan bahwa mencari sahabat sama halnya dengan mencari surga ataupun neraka.Dalam hal ini, saya akan memaparkan dua contoh persahabatan di masa Rasulullah saw., yang pertama adalah sahabat yang buruk, yang menghancurkan sahabatnya hingga masuk ke neraka, dan kedua adalah sahabat yang Shalih, yang memberi kebahagiaan kepada temannya, dan menghantarkannya ke surga.

Uqbah bin Abu Mu`ith

Uqbah adalah sahabat dekat Abu Jahal Amru bin Hisyam. Dalam suatu kesempatan, Abu jahal melakukan perjalanan jauh. Pada saat yang bersamaan Uqbah bin bin Abu Mu`idz mendengar Rasulullah saw. sedang membca al-Qur`an. Saat itulah, ia tertarik pada Islam dan mengikrarkan diri menjadi bagian dari umat Rasulullah saw.

Saat Abu Jahal kembali dari perjalanannya, ia menemui Uqbah dan mengingatkan kepadanya agar tidak sampai meretakkan tali persahabatan yang telah terjalin. Ia juga menyuruhnya untuk menemui Rasulullah saw. dan meludahinya. Uqbah pun merenung sejenak, membandingkan antara ke duanya; tetap dengan keyakinan barunya, Islam ataukah kembali pada kekufuran dan tetap bersahabat dengan Abu Jahal. Hingga pada akhirnya ia menentukan pilihannya untuk kembali pada Abu Jahal dan menentang ajaran Rasulullah saw. serta menyakiti beliau. Tidak ada orang yang paling kejam dan paling keras memusuhi Rasulullah saw. yang sepadan dengannya. Berkenaan dengan hal ini, Allah swt. menurunkan ayat,

“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari al-Qur`an ketika al-Qur`an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (al-Furqân [25] : 28-29)

Inilah kerugian besar yang dialami Uqbah bin Abu Mu`ith, baik di dunia maupun di akhirat. Diapun masuk ke dalam neraka sebab sahabatnya, Abu Jahal.

Iyasy bin Abu Rabi`ah

Iyasy adalah sahabat Umar bin Khatab. Saat mereka berdua hijrah dari Mekah menuju Madinah, di tengah perjalanan ia disusul oleh Abu Jahal karena ia tergolong orang yang terpandang, dan Abu Jahal merasa khawatir jika hijrahnya ke Madinah akan diikuti penduduk Mekah. Abu Jahal mengejarnya di belakang sambil memanggil, lalu berkata kepadanya, “Ibumu telah berjanji untuk tidak makan, tidak mau masuk ke dalam rumah, dan tidak akan mandi sampai engkau kembali menemuinya.”

Saat itu, Iyas menaiki kuda bersama Umar bin Khatab dan berada dibelakangnya. Seketika itu juga, Iyasy ingin melompat dan menemui ibunya. Umar berkata kepadanya, “Jangan engkau khawatirkan keadaan ibumu, jika ia merasa kepanasan, pasti ia akan masuk ke dalam rumah dan jika kutu telah banyak di kepalanya, pasti ia akan mandi.” Tapi Iyas tetap ingin menemui ibumu. Lantas Umar berkata kepadanya, “Bawalah unta ini dan temui ibumu, setelah itu susul aku ke Madinah!”

Sesampainya di Mekah, Iyas mendapat siksaan dari kaumnya sampai ia menanggalkan keyakinannya terhadap Islam dan kembali pada kekufuran.

Umar bin Khatab tidak pernah putus asa untuk mengajaknya kembali pada Islam. Sampai setiap kali ada ayat yang turun, ia mengirimkannya kepada Iyas. Salah satu ayat yang dikirim Umar kepadanya adalah firman Allah swt.,

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar [39] : 53)

Ayat ini sampai juga ke tangan Iyasy dan iapun membacanya. Saat itulah ia menangis dan segera mengambil kuda lalu menungganginya untuk menyusul Umar bin Khatab ke Madinah dan kembali pada pangkuan Islam. Dia selamat dari api neraka karena sahabatnya.

Di manakah Posisi Kita di Antara Mereka?

Pada masa lalu, ada seorang lelaki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Pada suatu ketika, ia berniat untuk bertobat. Ia pun menemui seorang ahli ibadah dan bertanya kepadanya, apakah tobatnya akan diterima di sisi Allah swt. Sang Abid menjawab bahwa Allah swt. tidak akan menerima tobatnya. Ia pun membunuh sang Abid itu, hingga orang yang telah dibunuhnya genap menjadi seratus orang.

Hatinya kembali tergerak untuk bertobat, dan memenuhi panggilan Allah swt. Ia pun bertanya kepada seorang alim (orang yang berilmu) dan disegani di kampungnya. Lantas ia menemui orang alim itu dan bertanya perihal pertobatannya apakah diterima di sisi Allah swt. ataukah tidak. Sang alim menjawab, “Tidak ada alasan bagi Allah swt. untuk menolak pertobatanmu. Tapi engkau harus meninggalkan kampung ini.”

Sang alim ini termasuk orang yang cerdas dan berpengetahuan. Dia menyuruhnya pergi dari kampungnya karena sahabat-sahabatnya yang jelek tidak akan membiarkan dirinya bertobat dan kembali kepada Allah swt., bahkan sahabatnya akan terus membujuk dirinya untuk melakukan perbuatan nista dan kemaksiatan dengan cara apapun. Karena itu, sang alim menyuruhnya pergi meninggalkan kampungnya dan juga sahabat-sahabatnya yang buruk dan menuju kampung yang baru, serta berteman dengan orang-orang Shalih yang selalu membantunya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah swt. dan memulai hidup baru setelah menyatakan pertobatannya.

Lelaki ini keluar dari kampungnya dan sahabat-sahabatnya yang buruk menuju daerah yang dihuni oleh orang-orang Shalih. Tapi sayang, belum sampai ke tempat tujuan, ia meninggal dunia. Malaikat rahmah dan Malaikat azab pun berebut untuk membawanya. Lantas Allah swt. memerintahkan Malaikat yang lain agar ia mengukur jarak antara tempat yang ditujunya yang dihuni orang-orang Shalih dan tempat yang ditinggalkan yang banyak dihuni orang-orang yang tidak baik. Setelah jarak antara keduanya diukur, diketahui bahwa jarak antara dia dan tempat yang dituju lebih dekat satu jengkal. Lantas Malaikat Rahmah pun membawanya.

Jarak satu jengkal ini tidak hanya sebatas kecepatan langkah kakinya, tapi gerakan hatinya untuk kembali kepada Allah swt. dan bertobat dengan sungguh-sungguh. Kalau dibandingkan dengan mereka, di manakah posisi kita?

Sampai Rasulullah Sekalipun Disuruh Mencari Sahabat yang Shalih

Kehidupan seorang muslim dan persahabatannya dengan orang yang Shalih merupakan hal yang sangat penting. Bahkan Allah swt. juga memerintahkan kepada para nabi untuk mencari sahabat yang Shalih. Allah swt. berfirman,

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi [18] : 28)

Seorang muslim hendaknya berinteraksi dengan semua orang dan mengajak mereka untuk melakukan kebajikan. Tapi ia juga perlu memilih dan memilah orang-orang yang Shalih yang dijadikan sebagai sahabatnya. Sekiranya seseorang tidak memerlukan sahabat yang Shalih, tentunya Rasulullah saw. tidak akan bersahabat dengan orang-orang yang Shalih karena beliau adalah seorang nabi dan orang yang dekat dengan Allah swt.

Sahabat dalam Berzikir dan Bertasbih

Ketika Allah swt. mengangkat Musa as. menjadi seorang nabi untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia, Allah swt. berfirman,

“Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (Thâhâ [20] : 24)

Musa meminta kepada Allah swt. seorang sahabat yang akan membantunya dalam mengemban amanah yang penting itu. Dia berkata,

“Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku. Dan mudahkanlah untukku urusanku. Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka mengerti perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku. Dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku. Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau. Dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha melihat (keadaan) kami.” (Thâhâ [20] : 25-35)

Inilah tujuan dalam mencari sahabat yang Shalih, yaitu untuk selalu mengajak pada kebaikan, mengingat Allah swt. dan membantu dalam menyampaikan risalah Allah swt. Lantas Allah swt. menjawab,

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, Hai Musa.” (Thâhâ [20] : 36)

Aman Pada Hari yang Mengerikan

Semua orang pasti mengharapkan agar dapat selamat (dari siksa api neraka) kelak di hari kiamat. Dan dalam al-Qur`an, Allah swt. menyatakan bahwa sahabat yang Shalih dapat memberi syafaat dan menyelamatkan sahabatnya di hari kiamat nanti. Allah swt. berfirman, “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (az-Zukhruf [43] : 67)

Sebagian dari mereka (sahabat yang Shalih) mengulurkan tangannya untuk menolong sahabatnya yang lain menuju ke surga. Sementara sebagian yang lain (sahabat yang buruk) merasa takut dan saling mencela di antara mereka.

Ada tiga sosok orang yang saling bersahabat dengan luapan rasa cinta yang amat mendalam di antara mereka, yaitu Muhammad saw, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar al-Fârûq. Suatu ketika, Rasulullah saw. masuk ke dalam Raudah, sementara dua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar) sedang duduk. Lantas beliau berkata, “Di manakah Abu Bakar? Di Manakah Umar?” lantas Rasulullah saw. memegang ke dua tangan mereka berdua dan mengangkatnya lalu berkata, “Beginilah kami akan dikumpulkan kelak di hari kiamat.”

Renungkanlah, siapa gerangan yang akan memegang tangan kita di hari kiamat kelak?! Untuk itu, carilah teman sebagaimana orang yang menemani Rasulullah saw. dan juga para sahabat beliau, dan jauhilah teman yang nantinya hanya akan mendatangkan penyesalan dan permusuhan di hari kiamat kelak.

Dasar Pembinaan

Langkah yang ditempuh Rasulullah saw. kali pertama dalam membina masyarakat Madinah adalah dengan mempersaudarakan antara sahabat Anshar dengan sahabat Muhajirin. Sehingga dari sana terbentuklah masyarakat muslim. Sekiranya persaudaraan itu tidak termasuk bagian dari iman, tentunya Allah swt. tidak akan berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurât [49] : 10)

Iman tanpa disertai dengan persaudaraan tidak akan pernah sempurna, dan persaudaraan tanpa dilandasi dengan iman hanya bersifat semu, dan persahabatan itu akan terputus jika nilai manfaat yang ingin digapai dari persahabatannya telah hilang.

Persaudaraan yang terjalin antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar sampai pada tataran hak untuk mewarisi di antara mereka. Sehingga terbentuklah suatu komunitas yang patut dijadikan sebagai rujukan. Berkaitan dengan hal ini, Allah swt. berfirman, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (al-Anfâl [8] : 75)

Setelah turunnya ayat ini, dasar untuk mewarisi adalah hubungan darah dan nasab setelah hati mereka telah tertambat dengan rasa persaudaraan dalam bingkai Islam.

Proyek yang Menguntungkan

Secara umum, membentuk komunitas yang baik itu tidaklah sulit. Di manapun kita berada, kita dapat menjalin persahabatan; di lapangan olahraga, di Masjid, maupun di kampus. Kalau demikian, kenapa seorang remaja tidak membuat kesepakatan dengan temannya bahwa mereka akan selalu menjalin persahabatan demi melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.? Kenapa seorang remaja putri tidak mengambil kesepakatan dengan teman-temannya bahwa mereka akan selalu berusaha untuk berbuat demi menggapai ridha Allah swt. dan membentuk komunitas yang kondusif?

Begitulah semestinya kita menjalin persahabatan, yaitu dengan landasan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah swt. Allah swt. berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Âli Imrân [3] : 103)

Persaudaraan merupakan nikmat yang sangat besar, yang sekiranya semua kekayaan yang terpendam dalam bumi disedekahkan untuk membeli ‘persaudaraan’, tentunya kekayaan itu tidak akan dapat membelinya. Karena persaudaraan merupakan karunia Allah swt., dan anugerah dari-Nya. Allah swt. berfirman, “Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahagagah lagi Maha Bijaksana.” (al-Anfâl [8] : 63)

Siapa yang memiliki kekayaan yang ada di bumi? Dan siapa yang akan menyedekahkannya secara keseluruhan, sekiranya ia milik seseorang?! Siapa yang akan mampu menyatukan hati manusia, meskipun ia telah menyedekahkan seluruh kekayaan bumi?!

Mahasuci Allah yang telah menyatukan hati kita. Dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya, Dia mampu menggerakkan hati manusia.

Yang Membantu dalam Ketaatan

Sesungguhnya setiap orang memiliki sifat dasar untuk mencintai. Lantas Islam datang dengan memberi bimbingan agar sifat dasar untuk mencintai diarahkan pada ke dua orang tua, keluarga, istri, anak, dan teman. Dan sekiranya rasa cinta itu tidak diarahkan pada hal yang benar, tentunya ia akan menjerumuskan pada perbuatan maksiat. Seorang lelaki dapat melihat wanita lain yang bukan istrinya atau seorang remaja putri menjalin asmara dengan seorang remaja putra dengan tanpa didahului dengan akad pernikahan yang sah. Jika rasa cinta yang ada itu didasari dengan keShalihan, tentunya ia akan membentengi dirinya dari perbuatan maksiat dan dosa. Dari sini dapat kita lihat pentingnya persaudaraan karena Allah, karena ia akan dapat membantu mempertebal iman dan ketaatan kepada Allah swt., juga dalam rangka menggapai ridha-Nya.

Persaudaraan Islam

Sesungguhnya musuh-musuh Islam berusaha keras untuk mempelajari karakteristik umat Islam, sebelum mereka menyerang secara langsung. Mereka memahami bahwa perekat persatuan mereka adalah persaudaraan yang berlandaskan pada keimanan. Inilah yang dapat menghalangi mereka menghancurkan umat Islam. Seorang tetangga mencintai tetangganya, seorang anak menghormati orang tuanya, orang yang kecil menghormati orang yang lebih tua darinya dan orang yang tua mengasihi orang yang lebih muda darinya.

Setelah sekian lama mereka mengkaji cara yang tepat untuk menghancurkan Islam, akhirnya mereka berkesimpulan dan menemukan cara yang tepat yaitu dengan memproduksi film, sinetron dan nyanyian yang berisi tentang percintaan antara seorang remaja yang berlainan jenis kelamin tanpa pernikahan yang sah. Sampai tertanam di hati mereka bahwa hidup tanpa cinta sebagaimana yang mereka harapkan tiada bermakna. Dengan demikian, banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja, juga permusuhan yang dapat memutuskan tali persaudaraan di tengah-tengah masyarakat.

Tidak ada persaudaraan yang langgeng di masyarakat kecuali jika ia didasari karena Allah swt. semata dan diikat oleh keyakinan yang sama (baca: Ukhuwah Islamiyyah) sebagaimana yang diperintahkan Allah swt., “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Âli Imrân [3] : 110)

Berbahagialah Bersanding Dengannya

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba Allah swt. itu ada sekelompok orang, di mana mereka bukan termasuk para syuhada’ dan juga bukan para nabi, tapi pada hari kiamat kelak, mereka menempati tempat para syuhada dan para nabi di sisi Allah swt. Mereka bertanya, beritahukan kepada kami siapa mereka itu, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘mereka adalah sekelompok orang yang saling mencintai karena Allah sementara di antara mereka tidak ada ikatan darah, tidak disebabkan harta yang dengannya mereka bisa saling mengasihi. Demi Allah, sesungguhnya wajah mereka itu akan bercahaya, dan mereka dikelilingi pancaran cahaya. Tidak ada rasa takut bagi mereka saat banyak orang yang dihantui rasa takut, dan mereka juga tidak merasa sedih saat banyak orang yang sedih. Lantas beliau membaca firman Allah swt. ‘Ketahuilah bahwa wali-wali Allah itu tidak akan merasa takut dan tidaklah mereka sedih.”

Orang-orang yang saling mencintai karena Allah swt. akan mendapatkan tempat yang para syuhada dan para nabi merasa iri kepadanya. Cinta karena Allah swt. bukan saja menyelamatkan dirinya di hari kiamat, tapi mereka juga akan berdampingan dengan orang-orang yang dicintainya di atas mimbar kemuliaan dan terpancar nûr ilâhiyyah (cahaya ketuhanan)

Persahabatan dalam Tinjauan Sunnah Rasulullah saw.

Dalam hadits qudsi, Rasulullah saw. bersabda, “Kecintaan-Ku bagi orang yang saling mencintai dan memberi karena Aku.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)

Rasulullah saw. bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah swt. pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah, yaitu: Pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dengan selalu beribadah kepada Allah swt., seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah swt.; mereka berkumpul karena Allah, berpisah juga karena Allah swt., seorang lelaki yang dipanggil oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan dan berparas menawan lalu ia berkata, ’sesungguhnya aku takut kepada Allah,’ seseorang yang bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang berzikir kepada Allah swt. di keheningan lalu air matanya teruari.” (HR Bukhari dalam kitab shahihnya)

Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang akan dikumpulkan bersamaan dengan orang yang dicintainya.” (HR Bukhari dalam kitab shahihnya)

Tidak ada sesuatupun yang membuat hati para sahabat berbahagia selain hadits yang disampaikan Rasulullah saw. ini. Mereka mencintai Rasulullah saw. dengan sepenuh hati, dan berharap kelak akan dikumpulkan bersama beliau.

Amal yang paling baik adalah mencintai karena Allah swt., dan membenci juga karena Allah swt. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang itu mengunjungi saudaranya, kecuali Allah swt. akan mengirim malaikat kepadanya untuk mengikuti di belakangnya. Ia berkata, sungguh baik dirimu, dan jalanmu juga baik, engkau juga telah menyiapkan tempat di surga.” (HR Tirmidzi dalam kitab sunannya)

Abdullah bin Umar berkata, “Demi Allah, sekiranya aku berpuasa di siang hari, bersujud di malam hari, menginfakkan semua harta yang aku miliki di jalan Allah swt. lantas aku meninggal dunia pada saat ajal menjemput dan dalam hatiku tidak tertanam kecintaan terhadap orang yang Shalih, semua yang telah aku lakukan itu tidak akan berguna bagiku.”

Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal, di mana jika salah satu darinya ada pada diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: hendaknya Allah swt. dan rasul-Nya lebih disukai dari pada yang lain, hendaknya seseorang mencintai (yang lain) karena Allah swt. dan hendaknya ia membenci jika kembali pada kekafiran sebagaimana ia juga membenci jika dilempar ke api neraka.” (HR Bukhari dalam kitab shahihnya)

Suatu ketika, Rasulullah saw. memegang tangan Muadz dan berkata kepadanya, “Aku mencintaimu, wahai Muadz.” Lantas Muadz berkata, “Aku juga mencintaimu, wahai Rasulullah.”

Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, “Jangan engkau tinggalkan untuk membaca setiap selesai shalat, Rabbî A`innî `alâ zikrika wa syukrika wa husni `ibâdatika (Ya Allah, berilah bantuan kepadaku agar selalu mengingat-Mu, mensykuri (nikmat-Mu) dan beribadah dengan cara yang terbaik.” (HR Nasai dalam musnadnya)

Sebagai seorang muslim, kita harus meneladani apa yang dicontohkan Rasulullah saw. secara langsung kepada kita. Untuk itu, hendaknya para remaja mengutarakan kecintaannya karena Allah swt. kepada saudaranya, begitu halnya dengan orang yang sudah dewasa, yang dalam hatinya menyimpan rasa cinta kepada saudaranya demi menggapai keridhaan Allah swt.

Mari kita proklamirkan perasaan yang terpendam dalam hati kita, merasa bangga dengan ajaran Islam, dan memilih sahabat yang Shalih yang dapat menghantarkan menuju surga. Dan saat itu kita mendengar ayat Allah swt.,”Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” (az-Zumar [39] : 73)